RADAR JOGJA – Di setiap akhir festival ini, Joga-Netpac Asian Film Festival (JAFF) selalu memberikan penghargaan kepada sineas yang telah menyumbangkan karya-karyanya secara konsisten pada perfilman Indonesia. Tahun ini, JAFF memberikan penghargaan kepada aktris senior Indonesia, Christine Hakim.
Penghargaan khusus diberikan pada Christine atas dedikasinya dalam mengembangkan sinema Asia dengan mengangkat dan mengedepankan persoalan-persoalan heritage Indonesia. Baik itu Christine sebagai pemeran, atau pun sebagai produser dari film-film yang berbau kebudayaan, seperti pada film Merantau yang menjadi film pembuka di JAFF Selasa (4/8) lalu.
“Dalam film-filmnya, Christine Hakim bisa menjadi local hero yang mengangkat heritage Indonesia,” kata Garin Nugroho.
Dari pengalaman Chritine sendiri dan sebagai orang Indoenesia, Ia merasa bahwa Indonesia telah kehilangan identitasnya. “Akar Indonesia sudah tercabut, padahal negeri ini punya potensi besar,” ujarnya saat penerimaan penghargaan di Indraloka Sabtu (8/8) kemarin.
Identitas bangsa yang mulai hilang menjadikan ketakutan tersendiri baginya. Ia takut jika anak-anak Indonesia tidak kenal negerinya sendiri. “Kalau potensi yang ada di Indonesia tidak segera memperkuat presentasi masing-masing potensi, saya takut nanti anak-anak kita nggak kenal komodo, orang utan, badak bercula, dan icon-icon yang khas Indonesia lainnya,” lanjutnya.
Hal ini menjadi salah satu dasar mengapa Christine lantas membuat film dokumenter tentang seni budaya Indoensia. “Saya dan empat orang teman saya concern dengan masalah ini. Saat ini yang baru selesai Sumatera Barat, yang sedang dikerjakan sekarang adalah Banda Aceh,” jelas Christine.
Film dokumenter tentang budaya yang ia buat mengacu pada semua aspek dan ciri khas setiap kebudayaan. “Semua aspek mulai dari arsitektur, kuliner, alam, flora dan fauna, juga seni budaya itu sendiri,” kata pemeran film Tjoet Nja’ Dien ini.
Ia mengharapkan agar semua budaya yang ada di Indonesia bisa difilmkan, “Setiap kali ada dana kami langsung mengerjakannya. Untuk sementara kami dibantu Departement Kebudayaan dan Pariwisata,” papar aktris yang lahir di Kuala Tungkal, 25 Desember 1956 ini.
Christine mengaku jenuh dengan dunia perfilman Indonesia sekarang ini. Ini juga merupakan alasan mengapa ia membuat film dokumenter yang mengedepankan masalah budaya.
“Pencak silat adalah salah satunya, seperti film Merantau. Sebenarnya kita harus malu kenapa yang membuat orang Inggris. Orang kita nggak mau dianggap kuno dengan menganggkat hal-hal seperti itu. Itulah yang ingin saya katakan, agar kita mengubah mindset, bahwa budaya kita itu tidak kuno, karena hanya itulah yang bisa kita banggakan,” ujarnya.
Dari pengalamannya sendiri ia pernah menggunakan kebaya Solo rancangan Iwan Tirta dalam menghadiri festival film di Perancis. Dan ia sungguh heran, ada sebuah majalah di Jakarta yang mengatakan dirinya old fashion. “Padahal orang Perancis saja kagum melihat busana saya, di sini malah dibilang old fashion. Saya heran kenapa hal-hal seperti ini tidak bisa kita presentasikan,” seloroh Christine.
Christine merasa bahwa film sarat dengan ilmu pengetahuan. Katanya, film adalah satu-satunya bidang yang merangkap teknologi, arsitektur, sosial dan politik, juga budaya. “Saya sendiri belajar dari Cut Nyak Din atas sikapnya yang konsisten untuk integritas. Kita perlu merenung supaya apa yang kita lewati memiliki arti dalam hidup kita. Saya hanya ingin melakukan sesuatu yang baik,” pungkasnya. (cw3)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar