Keraguan tentang perlunya pengobatan medis untuk ADHD kini sudah berhasli ditepis. Studi MTA menunjukkan, kombinasi terapi psikofarmakologi dan prilaku memberi efek lebih baik.
Sejak diperkenalkan pertama kali oleh Dr. Heinrich Hoffman pada 1845, attention deficit hiperactivity disorder (ADHD) kerap mengundang kontroversi di kalangan medis. Dulu, ADHD belum diakui secara resmi sebagai suatu penyakit atau gangguan. Hingga menjelang 1902, Sir George F. Still mempublikasikan satu seri karya yang menjelaskan ADHD secara ilmiah. Dia menerbitkan panduan untuk mahasiswa kedokteran di Royal College of Physicians, Inggris yang menggambarkan suatu grup anak impulsif dengan gangguan prilaku yang bermakna. Menurutnya, ADHD disebabkan oleh disfungsi genetik dan bukan oleh keterbelakangan seorang anak. Sejak itu, banyak paper ilmiah yang dipublikasikan hingga akhirnya ADHD resmi dinyatakan sebagai suatu penyakit .
Kontroversi tak berhenti hanya sampai di situ. Perdebatan pun terus bergulir. Mulai dari kriteria diagnosis, aspek penilaian dan pemilihan serta efektivitas dari pengobatan ADHD. Terakhir juga berkembang kontroversi, apakah penggunaan obat perlu diteruskan hingga dewasa atau tidak?
Kondisi demikian membuat ADHD menjadi "primadona." Apalagi kasus ADHD cukup banyak dijumpai. Diperkirakan 2-3% anak di dunia mengalami ADHD. Di Amerika Serikat, ADHD menimpa sekitar 2 juta anak. Ini berarti dalam suatu kelas dengan 25-30 murid, setidaknya ditemukan seorang anak yang mengalami ADHD. Sementara di Jakarta, prevalensinya sekitar 26,2% (dengan kisaran usia 6-13 tahun). Biasanya, anak laki-laki lebih sering mengalami ADHD ketimbang anak perempuan (interval perbandingan 2,5:1 dan 5:1).
DR.Dr.Dwijo Saputro, SpKJ, pada pertemuan nasional Indonesian Society for Biological Psychiatry, Pharmacological, and Sleep Medicine yang berlangsung di Twin Plaza Hotel, Jakarta, 24-25 Januari 2006 lalu mengatakan, ada tiga karakter utama pasien ADHD. Yaitu inatensi, hiperaktivitas, dan impulsif. Tanda atau ciri tersebut akan mudah dikenali serta tampak nyata pada usia prasekolah dan awal sekolah (7 tahun).
Menurut pria yang aktif di klinik pengembangan anak dan kesulitan belajar Smart-Kid yang beralamat di arteri Pondok Indah ini, seorang anak dengan ADHD susah untuk mengontrolperilakunya atau berkonsentrasi dengan satu hal. ADHD bukanlah suatu gangguan belajar namun gangguan hambatan prilaku.
Penyakit GenetikAda beberapa faktor yang dipertimbangkan bisa menyebabkan terjadinya ADHD. Di antaranya adalah defisit dari fungsi semisal respon inhibisi, kewaspadaan, dan kerja memori. Berdasarkan hasil studi Twins, diperkirakan 60-94% ADHD diperoleh dari keturunan. Hal ini dibuktikan melalui studi genome scan yang menemukan bahwa penanda (marker) pada kromosom 4,5,6,8,11,16,17 dan DRD4, merupakan kandidat gen untuk ADHD. Sementara faktor non genetik yang bisa menyebabkan ADHD adalah perinatal stres, BBLR, cedera otak, dan merokok selama hamil.
Untuk menegakkan diagnosa ADHD seorang klinisi harus mempelajari riwayat pasien, mencari informasi dari sekolah, melakukan wawancara diagnostik, dan membuat rating scales. Adapun kriteria diagnosa yang digunakan bervariasi. Belum ada standar atau kriteria yang sama untuk ADHD. Namun yang paling banyak digunakan adalah kriteria Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders, Fourth Edition (DSM-IV). DSM-IV mendefinisikan 3 subtipe ADHD, yakni kombinasi, predominan inatensi, dan predominan hiperaktif/impulsif. Pengelompokkan ini didasarkan pada pola gejala yang muncul dalam 6 bulan sebelumnya. |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar