Seperti yang dialami oleh Agustinus, 18 tahun, siswa Cherish School, Muara Karang, Jakarta Utara. Agus disekolahkan di sekolah dengan sistem kurikulum individual ini, karena dia memiliki kelainan autis dan gejala hiper aktif.
Di Sekolah ini, Agus dibimbing mengikuti pelajaran sesuai kemampuan dan keinginannya.
“Satu kebiasaan Agus, yaitu memiliki hati yang keras. Semua harus sesuai keinginannya. Misalnya bangku, walau dia sudah naik tingkat, dia tetap ngotot duduk di bangku kelas sebelumnya. Kalau dipindah ke bangku atau kelas lain, dia pasti ngamuk,” tutur Dwi Sumantri, Kepala Sekolah Cherish Internasional School.
Namun, menurut Dwi, dengan kelebihan kurikulum yang dimiliki sekolahnya, dan sistem individual kurikulum kekerasan hati Agus perlahan-lahan bisa berkurang.
“Gurunya selelu membujuk. Misalnya bilang, Agus kan sudah naik Kelas, masak mau di kelas ini terus. Kelas ini kan untuk tingkat rendah, emangnya Agus gak mau naik kelas?,” tutur Dwi Sumantri.
Selain berjiwa keras, Agus juga lemah dalam Matematika dan Fisika. Untuk itu, dia diikutkan program ekstra kulikuler Robotik Explorer.
Dalam pelajaran Robotik Explorer Agus awalnya hanya belajar merakit robot. Namun, dengan kurikulum kursus yang memang sedikit berbeda dengan kursus Robotik lainnya, di Robotik Explorer Agus juga belajar programing robotik pada tingkat lanjutan.
Dari sanalah Agus bisa meningkatkan pemahamannya dalam pelajaran Matematika dan Fisika, karena dalam kurikulum kursus Robotik Explorer dia membutuhkan pengetahuan tentang Matematika dan Fisika terapan.
“Saya disini bisa pelajari programnya. Walau awalnya agak sulit,” ujar Agus.
Selain Agus, Geraldi, 14 tahun, perderita autis lainnya juga terbantu oleh kurikulum Robotik Explorer yang mengajarkan robotik dengan sistem MachineConstuction, Electronic, dan Computer.
Guru pembimbing Agus, Selvia Tamstil, mengakui, anak didiknya menjadi lebih baik dalam pelajaran Matematika dan Fisika setelah kursus Robotik Ekplorer.
Bahkan, menurut Selvia, Agus menjadi berai presentasi setelah kursus Robotik Explorer. Padahal presentasi dan sosialisasi dengan teman-temanya menjadi salah satu kekurangan penderita autis.
“Yang saya tahu, dia (Agus) ragu kalau presentasi, tapi sekarang kalau disuruh presentasi soal robotik dia gak ragu-ragu lagi,” terang Selvia.
Selain Agustinus dan Geraldi, sekolah Cherish Internasional School, juga membina sejumlah anak-anak dengan kelainan Autis dan Hiperaktif. Mereka pun dibimbing dan diarahkan dengan sarana kurikulum yang tepat, dan disesuaikan dengan minat mereka.
Misalnya, Kenny T yang kini menjadi atlet renang nasional. Serta Samanta, yang karena saking hyperaktif, kemudian diarahkan menjadi seorang penari.(adi/waa)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar